Baru beberapa hari ini perang tarif US dan Tiongkok melunak, penurunan tarif antara keduanya disepakati, yaitu tarif AS atas impor barang-barang Tiongkok turun dari 145% menjadi 30%. Sementara tarif Tiongkok untuk barang-barang AS turun dari 125% menjadi 10%.
Untuk Indonesia, kondisi ini menjadi tantangan tersendiri, rendahnya tarif Tiongkok dibandingkan Indonesia ke pasar AS akan menurunkan daya saing ekspor Indonesia. Produk ekspor Indonesia ke AS artinya harus berkompetisi dengan produk Tiongkok.
Demikian juga terkait potensi relokasi industri ke Indonesia, kemungkinan akan tertahan. Dalam satu tahun terakhir ini, berikut diantara investasi Tiongkok yang masuk ke Indonesia.
Beberapa sektor yang utama tercatat masuk sebagai investasi Tiongkok ke Indonesia, adalah kendaraan listrik, serat kaca, semen, baterai kendaraan listrik, baja, manufaktur bahan baku sepatu kulit, dan tekstil.
Diantara sektor yang disebutkan di atas berkomitmen untuk membuka pabriknya di beberapa kawasan industri di Indonesia, seperti di Subang, Batang dan koridor Timur dari wilayah Greater Jakarta.
Menurut catatan, pada kuartal pertama tahun 2025, realisasi investasi ke Indonesia tercatat positif. Namun, ketidakpastian global saat ini memberikan dinamika yang tinggi, menyiratkan kekhawatiran terhadap pelemahan investasi di masa berikutnya.
Kerjasama perdagangan dan industri Indonesia, dengan Tiongkok memang terjalin baik, demikian juga dengan AS. Namun memang di tengah ketidakpastian global, self sufficiency menjadi pilihan untuk jangka panjang. Road map untuk menuju self sufficiency dan menurunkan ketergantungan terhadap kedua besar tersebut menjadi sebuah kebutuhan.
Pasar domestik yang besar, dan sumber daya alam Indonesia yang berlimpah seharusnya cukup menjadi keunggulan komparatif Indonesia untuk beradaptasi dan mencapai daya tahan yang tinggi dalam masa ketidakpastian global saat ini.
Penulis : Syarifah Syaukat
Sumber:
https://nasional.kontan.co.id/n
https://www.cnbcindonesia.com/
https://www.idnfinancials.com/