Sertifikat Hak Milik (SHM) merupakan bentuk kepemilikan tertinggi atas tanah di Indonesia, yang memberikan hak penuh kepada pemegangnya untuk memanfaatkan, menggunakan, dan memindahkan hak atas tanah tersebut tanpa batas waktu.
Namun, tidak semua orang atau badan dapat memiliki SHM. Berdasarkan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960, hak milik atas tanah hanya dapat dimiliki oleh warga negara Indonesia (WNI) dan badan hukum tertentu yang ditetapkan oleh pemerintah. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 21 ayat (1) UUPA yang menyebutkan bahwa hanya WNI yang dapat memiliki tanah dengan status hak milik. Artinya, WNA atau badan hukum asing tidak memiliki dasar hukum untuk memperoleh SHM, bahkan dalam kasus warisan sekalipun.
Selain individu WNI, badan hukum nasional juga dapat menjadi subjek hukum yang sah untuk memiliki SHM, namun dengan ketentuan bahwa badan hukum tersebut memiliki legitimasi yang diakui oleh negara dan bergerak di sektor tertentu seperti keagamaan, sosial, atau pendidikan.
Badan hukum yang dapat memiliki SHM antara lain yayasan, lembaga keagamaan, atau koperasi yang diakui oleh pemerintah dan memiliki tujuan sosial yang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Meski demikian, tidak semua badan hukum diperbolehkan memiliki SHM secara langsung. Misalnya, badan usaha milik asing atau perusahaan multinasional hanya dapat mengakses tanah dengan status Hak Guna Bangunan (HGB) atau Hak Pakai.
Untuk mendapatkan SHM, tanah yang dimiliki oleh WNI atau badan hukum nasional juga harus sudah terdaftar di Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan memiliki dasar kepemilikan yang sah. Jika tanah masih berstatus girik atau tanah adat, maka pemilik wajib terlebih dahulu melakukan proses konversi hak melalui mekanisme pendaftaran tanah dan pengukuran resmi. Melalui prosedur ini, legalitas tanah menjadi lebih kuat dan diakui negara.
Pembatasan kepemilikan SHM ini merupakan bentuk pelaksanaan asas nasionalitas dalam hukum agraria Indonesia. Tujuannya adalah untuk menjaga kedaulatan tanah nasional agar tetap berada di tangan rakyat Indonesia dan tidak dikuasai oleh pihak asing, baik individu maupun korporasi. Dengan demikian, sistem agraria di Indonesia tetap mengutamakan kepentingan nasional dan memberikan perlindungan hukum kepada pemilik tanah yang sah.
Penulis : Muhamad Ashari
Sumber :
https://www.kompas.com
https://www.detik.com