Kebutuhan Resilient Design di Wilayah Rawan Bencana

星期四, 5 六月 2025

Pada Jumat, 23 Mei 2025 pukul 02.52 WIB, terjadi gempa bumi berkekuatan magnitudo 6,3 mengguncang wilayah barat daya Kota Bengkulu. Pusat gempa berada di laut dengan kedalaman 84 km dan sekitar 43 km dari Kota Bengkulu. Getaran yang cukup kuat menyebabkan kepanikan masyarakat dan kerusakan pada sejumlah bangunan.

Badan Geologi dan BMKG menyatakan bahwa gempa ini disebabkan oleh aktivitas sesar naik (reverse fault) di zona subduksi, yaitu pertemuan antara Lempeng Indo-Australia yang menunjam ke bawah Lempeng Eurasia. Gempa jenis ini dikenal sebagai gempa intraslab, terjadi di dalam lempeng yang menunjam akibat deformasi batuan karena tekanan sehingga terdorong ke atas.

Gempa ini mengakibatkan kerusakan pada sekitar 140 rumah dan beberapa fasilitas umum di Kota Bengkulu. Walaupun tidak menimbulkan korban jiwa, mitigasi bencana tetap penting ditingkatkan, seperti pembangunan bangunan tahan gempa dan sistem peringatan dini, serta edukasi masyarakat.

Gempa bumi yang terjadi di Kota Bengkulu juga berpengaruh terhadap sektor properti. Contohnya adalah kerusakan fisik properti pada tempat tinggal, fasilitas umum, dan gedung komersial yang dapat menyebabkan penurunan nilai properti, menganggu operasional kegiatan bisnis, serta memerlukan biaya yang tidak sedikit untuk proses perbaikan atau rekonstruksi. 

Konsumen properti umumnya akan menahan diri untuk membeli atau mengembangkan properti di daerah rawan gempa karena dianggap tidak aman. Selain itu, premi asuransi properti pun umumnya juga akan meningkat di wilayah yang tergolong rawan bencana. 

Kondisi ini pun memicu pemerintah untuk memperketat regulasi tata bangunan tahan gempa, serta mendorong penerapan prinsip resilient design. Sektor properti harus adaptif dengan tidak hanya fokus pada estetika dan fungsi, tetapi juga pada ketahanan struktur bangunan terhadap gempa bumi.

Salah satu teknologi yang dapat digunakan untuk pembangunan infrastruktur di wilayah rentan gempa adalah Lead Rubber Bearing (LRB). Teknologi ini terdiri dari komponen karet dan baja yang dipasangkan pada suatu proyek, sehingga dapat meredam getaran dan menurunkan respons guncangan.

Teknologi ini umumnya digunakan pada infrastruktur konektivitas, seperti jalan dan jembatan di Indonesia. Contonya Jalan Tol Pekanbaru-Dumai dan Jembatan Holtekamp.

Sementara untuk bangunan, terdapat beberapa karakteristik khusus untuk menghadapi gempa bumi, seperti menggunakan material baja dan beton bertulang yang dikenal kuat dan tahan terhadap tekanan. Desain bangunan pun harus simetris dengan distribusi beban yang merata, sehingga tekanan yang tidak merata selama gempa dapat berkurang.

Karakteristik tersebut telah diatur oleh pemerintah melalui penerapan Standar Nasional Indonesia (SNI)1726:2019, yang berisikan pedoman wajib bagi arsitek dan kontraktor dalam merancang bangunan tahan gempa. Sejalan dengan aturan ini, menurut laporan World Bank diketahui bahwa bangunan yang memenuhi standar, memiliki risiko kerusakan 70% lebih rendah ketika terjadinya gempa.

Oleh karena itu, dalam mengahadapi tantangan kondisi geologi, seperti gempa bumi maka sektor properti Indonesia juga harus membangun ketahanan mitigasi risiko. Usaha ini diperlukan demi mempertahankan kepercayaan investor dan menjaga keberlanjutan pembangunan.

 

Penulis: Ratih Putri Salsabila

Sumber:

https://kfmap.asia/blog/menghadapi-gempa-inovasi-kisi-kisi-bangunan-tahan-bencana-di-indonesia/3637

https://kfmap.asia/blog/menyikapi-properti-pada-daerah-rawan-bencana/2130 

https://kfmap.asia/blog/lead-rubber-bearing-lrb-solusi-untuk-gedung-di-kawasan-rentan-gempa/2426 

https://www.bmkg.go.id/

https://regional.kompas.com/

https://www.kompas.id/

https://www.garudayamatosteel.com/

返回博客
©INFRAMAP - KNIGHTFRANK 2025