Hong Kong merupakan salah satu kota dengan harga rumah termahal di dunia. Meskipun pada tahun 2024 harga rumah sempat turun hingga 7,1% dan kembali turun sebesar 0,5% pada Maret 2025, namun harga properti di kota ini tetap tidak terjangkau oleh mayoritas masyarakat.
Menurut laporan dari salah satu media, nilai pasar properti residensial di Hong Kong pada awal tahun 2025 masih berada di kisaran USD 3 triliun. Angka ini tetap jauh di atas kemampuan daya beli sebagian besar penduduknya.
Tingginya harga rumah memaksa masyarakat berpenghasilan rendah untuk tinggal di unit hunian sempit, salah satunya dikenal dengan nama coffin house atau rumah peti mati. Istilah ini digunakan karena ukuran ruang tinggalnya hanya sekitar 2–5 meter persegi, cukup untuk satu tempat tidur kecil dan hampir tidak ada ruang untuk bergerak.
Harga sewanya pun tidak tergolong murah. Berdasarkan laporan salah satu media di Hong Kong, sewa bulanan sebuah coffin house berkisar antara HK$2.300 hingga HK$4.500, atau sekitar Rp4,7 juta hingga Rp9,2 juta per bulan. Unit sekecil ini umumnya tidak memiliki jendela, dan penghuni harus berbagi dapur serta kamar mandi dengan banyak orang lainnya.
Fenomena ini bukanlah hal baru. Hingga akhir tahun 2024, tercatat sekitar 220.000 hingga 240.000 orang tinggal di hunian tidak layak huni seperti subdivided units, cage homes, atau coffin house. Artinya, sekitar 3% dari populasi Hong Kong hidup di hunian yang bahkan tidak memenuhi standar minimum kelayakan. Sementara itu, antrean untuk mendapatkan rumah subsidi masih sangat panjang, dengan waktu tunggu rata-rata mencapai 5,5 tahun, dan lebih dari 200.000 pemohon masih belum mendapatkan unit.
Pemerintah Hong Kong memang sedang berupaya memperbaiki kualitas hunian kecil dengan merancang regulasi baru untuk subdivided units, termasuk menetapkan ukuran minimum 8 meter persegi, ventilasi yang memadai, serta kamar mandi pribadi. Namun, regulasi ini tidak mencakup coffin house atau cage homes. Hal ini berarti, banyak penghuni hunian ekstrem tersebut masih tinggal dalam kondisi yang sama, tanpa perlindungan hukum atau jaminan kualitas hidup yang layak.
Penyebab utama krisis ini adalah keterbatasan lahan dan lambatnya pembangunan rumah rakyat. Proyek ambisius seperti Lantau Tomorrow Vision memang dirancang untuk membangun ratusan ribu unit baru, namun implementasinya membutuhkan waktu bertahun-tahun dengan biaya yang sangat besar.
Sementara itu, kebutuhan akan hunian layak terus meningkat setiap tahunnya. Tanpa solusi cepat dan konkret, seperti percepatan pembangunan rumah subsidi atau skema bantuan sewa, fenomena coffin house akan terus menjadi bagian kelam dari wajah modern Hong Kong dalam upaya pemenuhan hunian.
Penulis : Alivia Putri Winata
Sumber :
https://www.reuters.com/
https://www.j3consultantshongkong.com/
https://hongkongfp.com/